ASUHAN KEPERAWATAN ANAK
PADA KASUS DIFTERI
1. Landasan Teori
1.1
Pengertian
1.1.1
Difteri adalah infeksi akut yang mudah menyerang
terutama saluran pernafasan bagian atas dengan tanda khas timbulnya
‘pseudomembran‘ (Ngastiyah, 1997: 21).
1.1.2
Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang
disebabkan oleh kuman corynebacteriumdifteri’( Arif Mansjoer, Suproharta, Wahyu
Ika Wardani, (2000: 430)
1.1.3
Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang
disebabkan oleh kuman corynebacteriumdifteri’ disertai dengan terbentuknya
pseudomembran pada mukosa atau kulit (Lab/ UPF IKA RSUD Dr. Soetomo, 1998 :
174)
1.2
Etiologi
Penyebab penyakit difteri adalah kuman corynebacteriumdifteri yang
bersifat: bakteri gram +, polymorf,
tidak bergerak, tidak membentuk spora, terdiri dari 3 jenis basil yaitu :
gravis, mitis, inter medius, membentuk pseudomembran yang sukar diangkat, mudah
berdarah, dan berwarna putih keabu-abuan, mengeluarkan eksotoksin yang sangat
ganas dan dapat meracuni jaringan. Penularan penyakit difteri adalah melalui
udara ( droplet infection ), tetapi juga dapat perantara alat/ benda yang
terkontaminasi oleh kuman difteri.
1.3
Patofisiologis
Kuman
berkembang biak pada saluran nafas atas dan dapat juga pada vulva kulit mata
walaupun jarang terjadi. Kuman membentuk pseudomembran dan melepaskan
eksotoksin. Pseudomembran timbul local dan menjalar dari laring, faring dan
saluran nafas atas. Kelenjar getah bening akan tampak membengkak dan mengandung
toksin. Eksotoksin bila mengenai otot jantung akan mengakibatkan terjadinya
miokarditis dan timbul paralysis otot-otot pernafasan bila mengenai jaringan
syaraf. Sumbatan pada jalan nafas sering terjadi akibat dari pseudomembran pada
laring dan trachea menyebabkan kondisi yang fatal.
Kuman hidup dan berkembang biak
Pada Saluran nafas
bagian atas
,vulva, telinga, dan kulit
Membentuk Pseudomembran Melepaskan Eksotoksin
Bullneck Lokal Jaringan
Nyeri Menjalar dari faring -Paralisis
otot pernafasan
tonsil, laring, dan -
Jantung
saluran nafas atas -
Palatum mole / durum
Gangguan Obstruksi jalan nafas Resiko aspirasi
Nutrisi - Bersihan jalan nafas
Tak efektif
- Perubahan
pola nafas
- Karusakan
pertukaran gas
Tracheostomi
1.4
Manifestasi
Klinik
Tergantung pada:
1.4.1
Lokasi tempat infeksi
1.4.2
Imunitas pasien
1.4.3
Ada tidaknya toksin pada sirkulasi darah
1.5
Gejala
Klinis
Masa tunas antara 1-6 hari.
1.5.1
Gejala umum
1.5.1.1
Demam
1.5.1.2
Pilek
1.5.1.3
Sesak
1.5.1.4
Sakit kepala
1.5.1.5
Batuk
1.5.2
Gejala lokal
1.5.2.1
Difteri hidung/ Difteri ringan
Pseudomembran sampai batas pada hidung/ parsial dengan gejala secret
hidung serosa inguinosa, epistaksis, ada pseudomembran pada septum nasi.
1.5.2.2
Difteri faring dan tonsil/ Difteri sedang
Pseudomembran menyebar lebih luas sampai dinding posterior faring dengan
edema ringan laring yang dapat diatasi dengan pengobatan konservatif dengan
gejala panas tidak tinggi, nyeri telan ringan, mual, muntah, nafas berbau dan
timbul ‘Bullneck’.
1.5.2.3
Difteri laring/ berat
Disertai dengan sumbatan jalan nafas yang berat yang hanya dapat diatasi
dengan tracheostomi dengan gejala sesak nafas hebat, stridor inspirator,
sianosis, terdapat retraksi otot supra sternal dan epigastrium, laring tampak
kemerahan, sembab, banyak secret, dan permukaan tertutup oleh pseudomembran.
1.6
Prognosis
Prognosis penyakit ini bergantung pada:
1.6.1
Umur pasien, makin muda usianya makin jelek
prognosisnya
1.6.2
Perjalanan penyakit, makin terlambat ditemukan makin
buruk keadaanya
1.6.3
Letak lesi Difteri, bila dihidung tergolong ringan
1.6.4
Keadaan umum pasien, bila gizi buruk makin buruk keadaannya
1.6.5
Terdapat komplikasi, miokarditis sangat memperburuk
prognosis
1.6.6
Pengobatan, terlambat pemberian ADS, prognosis makin
buruk
1.7
Pemeriksaan
Diagnostik
1.7.1
Laboratorium
Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan
leukositosis polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit dan kadar albumin.
Pada urine terdapat albuminuria ringan.
1.7.2
Penularan KN watje ( kell dan noise )
Dengan lidi waten dikontaminasikan pada pseudomembran yang ada pada
lokasi yang terkena, kemudian dimasukkan pada tabung reaksi dengan media
agar-agar dan periksa. Apabila pemeriksaan
KN 2x berturut-turut dan bila (-) perubahan positif terjadi.
1.8
Komplikasi
1.8.1
Pada saluran pernafasan: terjadi obstruksi jalan nafas,
atelektasis dan bronchopnomonia.
1.8.2
Kardiovaskuler: miokarditis
1.8.3
Kelainan pada ginjal
1.8.4
Kelainin syaraf kira-kira 10% pasien difteri menjadi
komplikasi yang mengenai susunan syaraf terutama sistem motorik dapat berupa:
1.8.4.1
Paralisis palatum mole, sehingga terjadi renolaka (
suara sengak ) tersedak/ sukar menelan: dapat terjadi pada minggu ke I sampai
ke II
1.8.4.2
Paralisis otot-otot mata, dapat mengakibatkan
strabismus, gangguan akomodasi, dilatasi pupil/ ptosis yang timbul pada minggu
ke III
1.8.4.3
Paralisis umum, dapat terjadi pada minggu ke IV,
kelainan dapat mengenai otot muka, leher, anggota gerak dan otot pernafasan.
1.9
Pencegahan
1.9.1
Imunisasi
1.9.1.1
Iminisasi Primer
1.9.1.1.1
Anak usia 6 minggu - 6 tahun
Diberikan dosis Td secara IM/ SC dengan interval 4-6 minggu dimulai
ketika anak usia 6 minggu - 2 bulan dan dilanjutkan dengan pemberian ke-4
selama 1 tahun sesudah pemberian ke-3 preparat yang digunakan adalah Pediatric
Taksoid Dipteria
1.9.1.1.2
Anak usia 7 tahun / lebih
Diberikan Td dengan pemberian ke-2 berselang waktu 4-8 minggu diberikan
dengan pemberian 1 dan pemberian 3 berselang 1 tahun dengan pemberian ke-2,
preparat yang digunakan adalah Adult Taksoid Dipteria
1.9.1.2
Imunisasi Boster
1.9.1.2.1 Anak usia 6 minggu- 6 bulan apabila pemberian dosis ke-4 imunisasi
primer anak belum berumur 4 tahun maka diberikan boster ketika anak tersebut
mulai masuk TK
1.9.1.2.2 Anak usia 7 tahun atau lebih diberikan boster setiap 10 tahun
1.9.2
Isolasi pasien
1.9.3
Pencarian orang carier difteria dengan uji shick dan
kemudian diobati.
Dengan tujuan : Untuk
mengetahui apakah tubuh mengandung anti
toksin terhadap kuman difteri.
Cara : Dengan menyuntikan IC 1/50 Minimal Lethal Dose
(MLD) sebanyak 0,02 ml, jika positif akan terlihat merah kecoklatan selama 24
jam
1.10 Penatalaksanaan
1.10.1
Pengobatan Umum
1.10.1.1 Isolasi pasien
1.10.1.2 Istirahat total
1.10.1.3 Makanan yang mudah
dicerna, cukup mengandung protein dan kalori
1.10.1.4 Kontrol EKG 2-3 kali
seminggu selama 4-6 minggu, bila terjadi miokarditis harus istirahat total di
tempat tidur
1.10.2
Pengobatan Khusus
1.10.2.1
ADS( Anti Difteri Serum )
Sebelum dilakukan pemberian antitoksin, harus
dilakukan test kepekaan untuk tujuan ini maka 0,1 ml antitoksin dengan
pengenceran 1: 100 dalam larutan garam yang diberikan secara IC atau pada sakus
komjungtifa. Reaksi positif ( eritema 10 mm pada tempat infeksi dalam waktu 20
menit ) konjungtifa dan pengeluaran air mata. Bila pasien sensitive lakukan
desensitasi cara Bedrestkan dengan cara :
- 0,05 cc ADS + 1, cc Pz secara SC
- 0,1 cc ADS + 1, cc Pz secara SC
- 0,2 cc ADS + 1, cc Pz secara SC/ im
- 0,5 cc ADS + 1, cc Pz secara SC/ im
- 2 cc ADS + 1, cc Pz secara SC/ im
- 4 cc ADS + 1, cc Pz secara SC/ im
sisanya diberikan semua kiri dan kanan/ jika tidak
memungkinkan, secara bertahap 4 cc dengan jarak 15 menit.
1.10.2.2
Antibiotik, PP 50.000 IU/BB/hari sampai 10 hari bila
alergi berikan eritromicin 40 mg/kg BB/hari dalam 4 dosis.
1.10.2.3
Kortikosteroid, digunakan untuk mengurangi edema laring
dan mencegah komplikasi miokarditis, diberikan Prednison 2 mg/kg BB/hari selama
3 minggu yang diberikan secara bertahap.
1.10.2.4
Bila ada komplikasi paralysis otot dapat diberikan
striknin ¼ mg dan vitamin B1 100 mg setiap hari, 10 hari berturut-turut.
1.10.2.5
Bila pasien perlu di lakukan Trakheostomi
Trakheostomi dilakukan jika pasien mengalami sumbatan jalan nafas yabg
berat dengan gejala stridor inspirator, gelisah, dispneu, sianosis, dan
terdapat retraksi otot pernafasan. Sumbatan jalan nafas sering terjadi pada
pasien difteria laring dan trachea yang biasanya sudah disertai Bullneck (leher
yang besar). Oleh karena itu, jika merawat pasien yang difteria dengan Bullneck
harus selalu waspada. Bila terdengar stridor, pasien dibaringkan setengah
duduk, berikan O2 sampai 2 lt dan segera lapor dokter. Sementara itu
dibicarakan dengan orang tuanya kemungkinan tindakan dokter. Jika keputusan
dokter, pasien harus di Trakheostomi mintalah izin operasi dan yakinkan orang
tua bahwa tindakan tersebut adalah pertolongan yang paling mungkin untuk
menolong anaknya. Jika pasien belum di pasang infus sebelum kekamar bedah harus
di pasang dulu. Jika pasien telah kembali dari kamar operasi, peranan perawat
ikut menentukan keberhasilan trakheostomi tersebut karena bila perawatannya
tidak baik, misalnya pengisapan lender tidak efektif atau kurang memperhatikan
steriletas akibatnya pernafasan pasien tetap tidak lancar dan komplikasi tetap
terjadi. Pengisapan lender pada hari pertama setelah operasi merupakan hal yang
paling penting disamping pengawasan keadaan umum pasien (tanda vital)
2. Landasan Askep
2.1
Pengkajian
2.1.1
Identitas klien : Biasanya menyerang pada individu yang
berusia kurang dari 15 th ( yang tidak dapat imunisasi lengkap )
2.1.2
Keluhan utama
Batuk, demam
2.1.3
Riwayat Penyakit Sekarang
Demam, Sakit Kepala, Batuk, lesu/ lemah, sianosis, sesak nafas, dan
pilek.
Difteria Nasal: Sakit jantung serosa inguinosa, epistaksis, ada membrane
putih pada septum nadi
Difteria Tonsil dan Faring: Panas tidak tinggi, nyeri telan ringan, mual,
muntah, nafas berbau, Bullneck.
Difteria Laring dan Trachea: Sesak nafas hebat, stridor inspirator,
terdapat retraksi otot supra sternal dan epigastrium, laring tampak kemerahan,
sembab, banyak secret, permukaan tertutup oleh pseudomembran.
2.1.4
Riwayat penyakit keluarga
Dimungkinkan ada keluarga/ lingkungan yang menderita
penyakit Difteria
2.1.5
Riwayat Imunisasi
Imunisasi DPT 1, 2, 3 pada usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan yang kurang
memadai
2.1.6
ADL
2.1.6.1
Nutrisi: kesulitan menelan, anoreksia, sakit tenggorokan,
2.1.6.2
Eliminasi: terjadi konstipasi
2.1.6.3
Istirahat tidur: sukar tidur
2.1.7
Pemeriksaan
2.1.7.1
Pemeriksaan umum
•
Kesadaran : compos mentis sampai dengan coma
•
TD: turun
•
RR: cepat dan dangkal
•
Nadi: cepat
•
Suhu : peningkatan suhu tubuh
2.1.7.2
Pemeriksaan fisik
•
Wajah: sianosis
•
Hidung : terdapat secret berbau busuk sedikit bercampur
darah, ada membran putih pada septum nasi
•
Mulut: bibir kering, mulut terbuka, ada membran putih
pada tonsil dan faring
•
Leher: pembesaran getah bening pada leher, edema pada
laring dan trachea (Bullneck), permukaan laring dan trachea tertutup oleh
pseudomembran
2.1.7.3
Pemeriksaan Penunjang:
•
Laboratorium
Bakteriologi : Hapusan tenggorokan di temukan kuman
corinebakterium difteria
Darah : Penurunan kadar HB dan leukosit
polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit dan kadar albumin.
Skin test : Test
kulit untuk menentukan status imunitas
2.1.8
Therapi
Therapi atau penatalaksanaan sesuai dengan konsep dasar:
•
Pengobatan umum
•
Pengobatan spesifik
•
ADS
•
Anti biotik
PP 500.000 u/kg/BB/hari sampai 3 hari bebas demam.
Pada pasien yang di lakukan trakheostomi ditambahkan kloramphenikol 75
mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis
2.2
Diagnosa
Keperawatan
2.2.1
Diagnosa keperawatan pre operasi
2.2.1.1
Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan terlepasnya
eksotoksin
2.2.1.2
Gangguan pemenuhan nutrisi (kurang dari kebutuhan)
berhubungan dengan nyeri telan
2.2.1.3
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan
pseudomembran
2.2.1.4
Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan orang
tua tentang penyakit anaknya
2.2.2
Diagnosa keperawatan post operasi
2.2.2.1
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan peningkatan
seluruh akibat trakheostomi, obstruksi kanula dalam
2.2.2.2
Resiko tinggi terjadinya operasi berhubungan dengan
pengumpulan sekresi yang berlebihan dan by passing pertahanan pernafasan atas
2.2.2.3
Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan
ketidakmampuan berbicara sekunder terhadap trakheostomi
2.3
Intervensi
2.3.1
Diagnosa keperawatan I
Tujuan: Klien menunjukan suhu tubuh dalam batas normal
Kriteria hasil:
-
Suhu normal ( 36,5- 37,2 c)
-
Keringat keluar secara wajar
Intervensi :
-
Pertahankan suhu kamar
R/ Dapat terjadi pertukaran suhu secara konveksi
-
Berikan baju tipis yang mudah menyerap keringat
R/ Membantu proses penguapan
-
Berikan minum yang banyak
R/ Minum banyak membantu proses penurunan suhu tubuh
-
Lakukan kolaborasi dengan dokter untuk pemberian
anti piretik
R/ Menurunkan panas dalam pusat hipotalamus
2.3.2
Diagnisa keperawatan II
Tujuan : - Klien dapat menunjukan dan mempertahankan BB
yang normal
- Kebutuhan nutrisi
terpenuhi
Kriteria hasil :
-
Adanya minat dan selera makan
-
Porsi makan sesuai kebutuhan
-
BB meningkat
Intervensi:
-
Monitor intake kalori dan kualitas konsumsi
makan
R/ Mengetahui pemasukan makanan
-
Monitor tanda-tanda kelumpuhan palatum mole dan
durum
R/ Makanan dalam porsi kecil mudah dikonsumsi oleh klien dan menghindari
terjadinya anoreksia
-
Berikan makanan yang merangsang selera
R/ Meningkatkan intake makanan
-
Timbang BB tiap hari
R/ Memonitor kurangnya BB dan efektifitas nutrisi yang diberikan
-
Berikan NS bila ada kelumpuhan
2.3.3
Diagnosa keperawatan III
Tujuan : Mempertahankan efektifitas pernafasan
Kriteria hasil :
-
Tidak terdengar suara nafas tambahan
-
Tidak ada tarikan otot bantu pernafasan
-
Tidak ada batuk
-
Tidak ada sekresi dari saluran pernafasan yang
berlebihan
-
Frekwensi pernafasan dalam batas normal
Intervensi
-
Auskultasi suara nafas, perhatikan adanya suara
nafas tambahan
R/ Adanya obstruksi pada saluran nafas dimanifestasikan pada saluran
nafas
-
Bantu pasien pada posisi yang nyaman, kepala
lebih tinggi dari kaki
R/ Diafragma lebih rendah dapat meningkatkan ekspansi dada
-
Tingkatkan intake cairan sesuai kebutuhan
R/ Thurasi membantu menurunkan viskositas secret dan mempermudah
pengeluaran
-
Bantu melakukan fisioterapi dada
R/ Postural drainare dan perkusi merupakan tindakan pembersihan yang
penting untuk mengeluarkan secret dan memperbaiki ventalasi
-
Lakukan suction
R/ Bila mekanisme pembersihan jalan nafas atau batuk tidak efektif
dilakukan suction
-
Berikan oksigen sesuai indikasi
R/ Memaksimalkan transport dalam jaringan
2.3.4
Diagnosa keperawatan IV
Tujuan : Didapatkan
kondisi lingkungan yang dapat mencegah atau menurunkan resiko terjadinya
infeksi
Kriteria hasil :
-
Klien mencapai kesembuhan
-
Tidak ada drainage yang purulen
-
Suhu tubuh dalam batas yang normal
Intervensi:
-
Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan
tindakan
R/ Mencegah kontaminasi silang
-
Pertahankan teknik aseptic
R/ Menurunkan resiko kolarisasi bakteri
-
Batasi pengunjung, berikan isolasi pernafasan
R/ Membatasi infeksi silang kuman difteria pada perawat
-
Berikan perawatan secara teratur: mandi, BAB,
BAK, dan berpakaian
R/ Kulit yang kotor merupakan media yang baik bagi pertumbuhan
mikroorganisme
-
Monotor suhu secara teratur
R/ Efek dari inflamasi adalah panas
-
Observasi adanya luka-luka drainage purulen
R/ Indikasi adanya infeksi local
-
Berikan antibiotic sesuai program tim medis
R/ Untuk profilaksis
2.4
Implementasi
Sesuai dengan intervensi
2.5
Evaluasi
Berdasarkan tujuan